Ceritasakti.com - Di sebuah rumah tua yang sunyi, hiduplah keluarga kecil yang terdiri dari seorang ibu dan tiga anaknya. Wildan, anak bungsu, selalu menjadi sasaran ejekan kedua kakaknya, Dimas dan Ratih. Mereka sering mengejek Wildan karena dianggap lemah dan penakut. Tak hanya di rumah, di sekolah pun Wildan tak lepas dari perundungan teman-teman sekelasnya.
Satu-satunya penghiburan Wildan
adalah ibunya. Sang ibu selalu memberinya pelukan hangat dan kata-kata
penyemangat. Namun, sang ayah, yang sering bepergian ke luar kota karena
pekerjaannya, jarang sekali menunjukkan kasih sayang pada Wildan.
Suatu hari, duka mendalam
menyelimuti keluarga kecil itu. Sang ibu, satu-satunya orang yang menyayangi
Wildan tanpa syarat, meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Wildan
merasa dunianya runtuh. Dia kehilangan tempat berlindungnya, satu-satunya orang
yang selalu melindunginya dari kekejaman dunia.
Setelah kepergian ibunya, Wildan
semakin terpuruk. Kedua kakaknya semakin menjadi-jadi dalam memperlakukannya
dengan buruk. Mereka sering mengurung Wildan di kamarnya, tidak memberinya
makan, dan bahkan memukulinya. Wildan merasa hidupnya seperti neraka.
Suatu malam, Wildan tidak tahan
lagi dengan perlakuan kakaknya. Dia memutuskan untuk kabur dari rumah. Dia
mengambil beberapa barang penting dan menyelinap keluar melalui jendela
kamarnya.
Wildan berjalan tanpa tujuan di
tengah malam yang gelap. Dia tidak tahu harus pergi ke mana. Dia hanya ingin
menjauh dari rumah yang penuh dengan penderitaan.
Saat Wildan berjalan di sebuah
jalan sepi, dia melihat sebuah rumah tua yang terbengkalai. Rumah itu terlihat
menyeramkan, dengan jendela-jendela yang pecah dan dinding-dinding yang
berlumut. Namun, Wildan merasa tertarik untuk masuk ke dalam rumah itu. Dia
merasa ada sesuatu yang memanggilnya.
Wildan membuka pintu rumah tua
itu dengan hati-hati. Pintu itu berderit keras, membuat Wildan semakin
merinding. Dia masuk ke dalam rumah dan melihat sekelilingnya.
Rumah itu gelap dan berdebu.
Tidak ada perabotan di dalamnya, hanya beberapa tumpukan barang-barang bekas
yang berserakan di lantai. Wildan berjalan perlahan, berusaha tidak membuat
suara.
Tiba-tiba, Wildan mendengar
suara tangisan dari lantai atas. Dia mendongak dan melihat seorang gadis kecil
berdiri di ujung tangga. Gadis kecil itu mengenakan gaun putih panjang dan
rambutnya terurai panjang. Wajahnya pucat dan matanya merah.
Wildan merasa takut, namun dia
juga merasa penasaran. Dia mendekati gadis kecil itu dan bertanya, "Siapa
kamu?"
Gadis kecil itu tidak menjawab.
Dia hanya terus menangis. Wildan merasa iba melihat gadis kecil itu. Dia
mengulurkan tangannya untuk menyentuh gadis kecil itu, namun gadis kecil itu
menghilang begitu saja.
Wildan terkejut. Dia melihat
sekelilingnya, namun gadis kecil itu sudah tidak ada di sana. Wildan merasa
merinding. Dia memutuskan untuk meninggalkan rumah tua itu.
Saat Wildan hendak keluar dari
rumah, dia melihat sebuah pintu di ujung lorong. Pintu itu tertutup rapat.
Wildan merasa penasaran dengan apa yang ada di balik pintu itu. Dia mendekati
pintu itu dan mencoba membukanya.
Pintu itu terkunci. Wildan
mencari kunci di sekitar pintu, namun dia tidak menemukannya. Dia merasa
frustrasi.
Tiba-tiba, Wildan mendengar
suara bisikan di telinganya. "Buka pintunya," bisikan itu berkata.
Wildan menoleh ke belakang,
namun tidak ada siapa-siapa di sana. Dia merasa merinding. Dia tahu bahwa
bisikan itu berasal dari gadis kecil yang dia lihat tadi.
Wildan ragu-ragu, namun akhirnya
dia memutuskan untuk membuka pintu itu. Dia menggunakan kekuatannya untuk
mendobrak pintu itu. Pintu itu terbuka dengan keras, membuat Wildan terhuyung
ke belakang.
Wildan melihat ke dalam ruangan
di balik pintu itu. Ruangan itu gelap dan pengap. Tidak ada jendela di
dalamnya, hanya sebuah meja kecil di tengah ruangan. Di atas meja itu, terdapat
sebuah kotak kayu kecil.
Wildan mendekati meja itu dan
membuka kotak kayu itu. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah bunga mawar merah
yang sudah layu.
Wildan mengambil bunga mawar itu
dan mengamatinya dengan seksama. Dia merasa ada sesuatu yang aneh dengan bunga
mawar itu.
Tiba-tiba, bunga mawar itu mulai
bercahaya. Cahaya itu semakin terang, hingga memenuhi seluruh ruangan. Wildan
merasa silau dan menutup matanya.
Saat Wildan membuka matanya
lagi, dia melihat dirinya berada di sebuah tempat yang berbeda. Dia berada di
sebuah taman yang indah, penuh dengan bunga-bunga berwarna-warni.
Wildan melihat sekelilingnya dan
melihat ibunya berdiri di dekatnya. Ibunya tersenyum kepadanya dan mengulurkan
tangannya.
Wildan berlari mendekati ibunya
dan memeluknya erat. Dia menangis bahagia karena bisa bertemu lagi dengan
ibunya.
"Ibu, aku
merindukanmu," ucap Wildan sambil menangis.
"Aku juga merindukanmu,
Nak," jawab ibunya sambil mengelus rambut Wildan.
Wildan dan ibunya menghabiskan
waktu bersama di taman itu. Mereka bercerita tentang banyak hal. Wildan
menceritakan tentang penderitaannya setelah ibunya meninggal, sementara ibunya
menceritakan tentang pengalamannya di alam baka.
Mereka berdua merasa bahagia
karena bisa bertemu lagi, meskipun hanya sebentar. Wildan merasa lebih tenang
dan damai setelah berbicara dengan ibunya.
Ketika hari mulai gelap, ibunya
pamit kepada Wildan. Dia berjanji akan selalu menjaganya dari jauh. Wildan
memeluk ibunya erat, tidak ingin melepaskannya. Namun, ibunya perlahan-lahan
menghilang dari pandangannya.
Wildan terbangun dari tidurnya.
Dia melihat sekelilingnya dan menyadari bahwa dia masih berada di rumah tua
yang terbengkalai. Dia melihat bunga mawar merah yang sudah layu di tangannya.
Wildan menyadari bahwa
pertemuannya dengan ibunya tadi hanyalah mimpi. Namun, dia merasa lebih baik
setelah bertemu dengan ibunya. Dia merasa lebih kuat dan tegar untuk menghadapi
hidup tanpanya.
Wildan memutuskan untuk kembali
ke rumah. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi kedua kakaknya. Dia tidak akan
membiarkan mereka terus memperlakukannya dengan buruk.
Wildan kembali ke rumah dan
masuk ke kamarnya. Dia melihat kedua kakaknya sedang tidur di kamar mereka.
Wildan mendekati mereka dan membangunkan mereka.
Kedua kakaknya terkejut melihat
Wildan. Mereka bertanya dari mana saja Wildan selama ini.
Wildan menatap mereka dengan
tatapan tajam. "Aku sudah muak dengan perlakuan kalian," ucapnya
dengan tegas. "Mulai sekarang, aku tidak akan membiarkan kalian terus
menindasku."
Kedua kakaknya tertawa mengejek.
Mereka tidak percaya bahwa Wildan berani melawan mereka.
Wildan tidak peduli dengan
ejekan mereka. Dia mengambil bunga mawar merah yang sudah layu dari sakunya dan
menunjukkannya kepada mereka.
"Lihat ini," ucap Wildan
sambil mengangkat bunga mawar itu. "Ini adalah bunga mawar dari ibu. Ibu
selalu menjagaku, bahkan setelah dia meninggal. Dan sekarang, aku akan
menggunakan kekuatan bunga mawar ini untuk melindungi diriku sendiri."
Kedua kakaknya terdiam. Mereka
melihat bunga mawar itu dengan tatapan takut. Mereka tidak tahu apa yang akan
dilakukan Wildan.
Wildan tersenyum sinis. Dia
menggenggam bunga mawar itu erat-erat. Tiba-tiba, ruangan itu menjadi gelap.
Angin kencang berhembus, membuat jendela-jendela bergetar. Kedua kakaknya
menjerit ketakutan.
Mereka melihat bayangan hitam
muncul dari balik Wildan. Bayangan itu semakin besar dan semakin jelas.
Akhirnya, bayangan itu berubah menjadi sosok seorang wanita.
Wanita itu mengenakan gaun putih
panjang dan rambutnya terurai panjang. Wajahnya pucat dan matanya merah. Dia
adalah gadis kecil yang Wildan lihat di rumah tua yang terbengkalai.
Gadis kecil itu menatap kedua
kakak Wildan dengan tatapan marah. "Berhenti menyakiti adikmu!"
suaranya menggelegar, memenuhi ruangan.
Kedua kakak Wildan gemetar
ketakutan. Mereka tidak pernah melihat Wildan seberani ini, apalagi dengan
kehadiran sosok menakutkan di belakangnya.
"Kalian berdua harus
meminta maaf pada Wildan, sekarang juga!" perintah gadis kecil itu.
Dengan suara terbata-bata, Dimas
dan Ratih meminta maaf pada Wildan. Mereka berjanji tidak akan pernah
mengganggunya lagi.
Gadis kecil itu mengangguk, lalu
perlahan menghilang. Ruangan kembali terang, dan Wildan berdiri tegak,
menggenggam bunga mawar layu itu.
Sejak saat itu, Dimas dan Ratih
benar-benar berubah. Mereka tidak lagi mengganggu Wildan, bahkan mulai bersikap
baik dan protektif padanya. Wildan pun, dengan kekuatan yang diberikan ibunya,
berhasil melawan perundungan di sekolah.
Wildan tahu, ibunya selalu bersamanya, melindunginya dalam bentuk bunga mawar merah yang selalu ia bawa. Bunga mawar itu menjadi simbol kekuatan dan kasih sayang seorang ibu yang tak pernah padam, bahkan setelah kematian. (E/S)
Selesai