Selasa, 03 September 2024

Bunga Mawar di Balik Kaca

Ceritasakti.com - Di sebuah rumah tua yang sunyi, hiduplah keluarga kecil yang terdiri dari seorang ibu dan tiga anaknya. Wildan, anak bungsu, selalu menjadi sasaran ejekan kedua kakaknya, Dimas dan Ratih. Mereka sering mengejek Wildan karena dianggap lemah dan penakut. Tak hanya di rumah, di sekolah pun Wildan tak lepas dari perundungan teman-teman sekelasnya.


Satu-satunya penghiburan Wildan adalah ibunya. Sang ibu selalu memberinya pelukan hangat dan kata-kata penyemangat. Namun, sang ayah, yang sering bepergian ke luar kota karena pekerjaannya, jarang sekali menunjukkan kasih sayang pada Wildan.


Suatu hari, duka mendalam menyelimuti keluarga kecil itu. Sang ibu, satu-satunya orang yang menyayangi Wildan tanpa syarat, meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Wildan merasa dunianya runtuh. Dia kehilangan tempat berlindungnya, satu-satunya orang yang selalu melindunginya dari kekejaman dunia.


Setelah kepergian ibunya, Wildan semakin terpuruk. Kedua kakaknya semakin menjadi-jadi dalam memperlakukannya dengan buruk. Mereka sering mengurung Wildan di kamarnya, tidak memberinya makan, dan bahkan memukulinya. Wildan merasa hidupnya seperti neraka.


Suatu malam, Wildan tidak tahan lagi dengan perlakuan kakaknya. Dia memutuskan untuk kabur dari rumah. Dia mengambil beberapa barang penting dan menyelinap keluar melalui jendela kamarnya.


Bunga Mawar di Balik Kaca - ceritasakti.com


Wildan berjalan tanpa tujuan di tengah malam yang gelap. Dia tidak tahu harus pergi ke mana. Dia hanya ingin menjauh dari rumah yang penuh dengan penderitaan.


Saat Wildan berjalan di sebuah jalan sepi, dia melihat sebuah rumah tua yang terbengkalai. Rumah itu terlihat menyeramkan, dengan jendela-jendela yang pecah dan dinding-dinding yang berlumut. Namun, Wildan merasa tertarik untuk masuk ke dalam rumah itu. Dia merasa ada sesuatu yang memanggilnya.


Wildan membuka pintu rumah tua itu dengan hati-hati. Pintu itu berderit keras, membuat Wildan semakin merinding. Dia masuk ke dalam rumah dan melihat sekelilingnya.


Rumah itu gelap dan berdebu. Tidak ada perabotan di dalamnya, hanya beberapa tumpukan barang-barang bekas yang berserakan di lantai. Wildan berjalan perlahan, berusaha tidak membuat suara.


Tiba-tiba, Wildan mendengar suara tangisan dari lantai atas. Dia mendongak dan melihat seorang gadis kecil berdiri di ujung tangga. Gadis kecil itu mengenakan gaun putih panjang dan rambutnya terurai panjang. Wajahnya pucat dan matanya merah.


Wildan merasa takut, namun dia juga merasa penasaran. Dia mendekati gadis kecil itu dan bertanya, "Siapa kamu?"


Gadis kecil itu tidak menjawab. Dia hanya terus menangis. Wildan merasa iba melihat gadis kecil itu. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh gadis kecil itu, namun gadis kecil itu menghilang begitu saja.


Wildan terkejut. Dia melihat sekelilingnya, namun gadis kecil itu sudah tidak ada di sana. Wildan merasa merinding. Dia memutuskan untuk meninggalkan rumah tua itu.


Saat Wildan hendak keluar dari rumah, dia melihat sebuah pintu di ujung lorong. Pintu itu tertutup rapat. Wildan merasa penasaran dengan apa yang ada di balik pintu itu. Dia mendekati pintu itu dan mencoba membukanya.


Pintu itu terkunci. Wildan mencari kunci di sekitar pintu, namun dia tidak menemukannya. Dia merasa frustrasi.


Tiba-tiba, Wildan mendengar suara bisikan di telinganya. "Buka pintunya," bisikan itu berkata.


Wildan menoleh ke belakang, namun tidak ada siapa-siapa di sana. Dia merasa merinding. Dia tahu bahwa bisikan itu berasal dari gadis kecil yang dia lihat tadi.


Wildan ragu-ragu, namun akhirnya dia memutuskan untuk membuka pintu itu. Dia menggunakan kekuatannya untuk mendobrak pintu itu. Pintu itu terbuka dengan keras, membuat Wildan terhuyung ke belakang.


Wildan melihat ke dalam ruangan di balik pintu itu. Ruangan itu gelap dan pengap. Tidak ada jendela di dalamnya, hanya sebuah meja kecil di tengah ruangan. Di atas meja itu, terdapat sebuah kotak kayu kecil.


Wildan mendekati meja itu dan membuka kotak kayu itu. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah bunga mawar merah yang sudah layu.


Wildan mengambil bunga mawar itu dan mengamatinya dengan seksama. Dia merasa ada sesuatu yang aneh dengan bunga mawar itu.


Tiba-tiba, bunga mawar itu mulai bercahaya. Cahaya itu semakin terang, hingga memenuhi seluruh ruangan. Wildan merasa silau dan menutup matanya.


Saat Wildan membuka matanya lagi, dia melihat dirinya berada di sebuah tempat yang berbeda. Dia berada di sebuah taman yang indah, penuh dengan bunga-bunga berwarna-warni.


Wildan melihat sekelilingnya dan melihat ibunya berdiri di dekatnya. Ibunya tersenyum kepadanya dan mengulurkan tangannya.


Wildan berlari mendekati ibunya dan memeluknya erat. Dia menangis bahagia karena bisa bertemu lagi dengan ibunya.


"Ibu, aku merindukanmu," ucap Wildan sambil menangis.


"Aku juga merindukanmu, Nak," jawab ibunya sambil mengelus rambut Wildan.


Wildan dan ibunya menghabiskan waktu bersama di taman itu. Mereka bercerita tentang banyak hal. Wildan menceritakan tentang penderitaannya setelah ibunya meninggal, sementara ibunya menceritakan tentang pengalamannya di alam baka.


Mereka berdua merasa bahagia karena bisa bertemu lagi, meskipun hanya sebentar. Wildan merasa lebih tenang dan damai setelah berbicara dengan ibunya.


Ketika hari mulai gelap, ibunya pamit kepada Wildan. Dia berjanji akan selalu menjaganya dari jauh. Wildan memeluk ibunya erat, tidak ingin melepaskannya. Namun, ibunya perlahan-lahan menghilang dari pandangannya.


Wildan terbangun dari tidurnya. Dia melihat sekelilingnya dan menyadari bahwa dia masih berada di rumah tua yang terbengkalai. Dia melihat bunga mawar merah yang sudah layu di tangannya.


Wildan menyadari bahwa pertemuannya dengan ibunya tadi hanyalah mimpi. Namun, dia merasa lebih baik setelah bertemu dengan ibunya. Dia merasa lebih kuat dan tegar untuk menghadapi hidup tanpanya.


Wildan memutuskan untuk kembali ke rumah. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi kedua kakaknya. Dia tidak akan membiarkan mereka terus memperlakukannya dengan buruk.


Wildan kembali ke rumah dan masuk ke kamarnya. Dia melihat kedua kakaknya sedang tidur di kamar mereka. Wildan mendekati mereka dan membangunkan mereka.


Kedua kakaknya terkejut melihat Wildan. Mereka bertanya dari mana saja Wildan selama ini.


Wildan menatap mereka dengan tatapan tajam. "Aku sudah muak dengan perlakuan kalian," ucapnya dengan tegas. "Mulai sekarang, aku tidak akan membiarkan kalian terus menindasku."


Kedua kakaknya tertawa mengejek. Mereka tidak percaya bahwa Wildan berani melawan mereka.


Wildan tidak peduli dengan ejekan mereka. Dia mengambil bunga mawar merah yang sudah layu dari sakunya dan menunjukkannya kepada mereka.


"Lihat ini," ucap Wildan sambil mengangkat bunga mawar itu. "Ini adalah bunga mawar dari ibu. Ibu selalu menjagaku, bahkan setelah dia meninggal. Dan sekarang, aku akan menggunakan kekuatan bunga mawar ini untuk melindungi diriku sendiri."


Kedua kakaknya terdiam. Mereka melihat bunga mawar itu dengan tatapan takut. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan Wildan.


Wildan tersenyum sinis. Dia menggenggam bunga mawar itu erat-erat. Tiba-tiba, ruangan itu menjadi gelap. Angin kencang berhembus, membuat jendela-jendela bergetar. Kedua kakaknya menjerit ketakutan.


Mereka melihat bayangan hitam muncul dari balik Wildan. Bayangan itu semakin besar dan semakin jelas. Akhirnya, bayangan itu berubah menjadi sosok seorang wanita.


Wanita itu mengenakan gaun putih panjang dan rambutnya terurai panjang. Wajahnya pucat dan matanya merah. Dia adalah gadis kecil yang Wildan lihat di rumah tua yang terbengkalai.


Gadis kecil itu menatap kedua kakak Wildan dengan tatapan marah. "Berhenti menyakiti adikmu!" suaranya menggelegar, memenuhi ruangan.


Kedua kakak Wildan gemetar ketakutan. Mereka tidak pernah melihat Wildan seberani ini, apalagi dengan kehadiran sosok menakutkan di belakangnya.


"Kalian berdua harus meminta maaf pada Wildan, sekarang juga!" perintah gadis kecil itu.


Dengan suara terbata-bata, Dimas dan Ratih meminta maaf pada Wildan. Mereka berjanji tidak akan pernah mengganggunya lagi.


Gadis kecil itu mengangguk, lalu perlahan menghilang. Ruangan kembali terang, dan Wildan berdiri tegak, menggenggam bunga mawar layu itu.


Sejak saat itu, Dimas dan Ratih benar-benar berubah. Mereka tidak lagi mengganggu Wildan, bahkan mulai bersikap baik dan protektif padanya. Wildan pun, dengan kekuatan yang diberikan ibunya, berhasil melawan perundungan di sekolah.


Wildan tahu, ibunya selalu bersamanya, melindunginya dalam bentuk bunga mawar merah yang selalu ia bawa. Bunga mawar itu menjadi simbol kekuatan dan kasih sayang seorang ibu yang tak pernah padam, bahkan setelah kematian. (E/S)

Selesai