Ceritasakti.com - Kabut tebal menyelimuti perbukitan Gunung Kidul sore itu, menambah kesan mistis pada lanskap yang sudah dikenal angker. Suara jangkrik bersahutan, menciptakan melodi alam yang biasanya menenangkan, namun sore itu justru menambah kegelisahan yang melanda keluarga kecil Pak Harto. Dimas, anak mereka yang berusia lima tahun, hilang tanpa jejak saat bermain di sekitar rumah mereka yang terletak di kaki gunung.
Tangis Ibu Dimas memecah kesunyian, "Dimas... Dimas... di mana
kamu, Nak?" Suaranya bergetar, dipenuhi ketakutan dan keputusasaan.
Pak Harto mencoba menenangkan istrinya, tapi hatinya sendiri dipenuhi
kecemasan. Mereka sudah mencari ke seluruh penjuru desa, bertanya pada setiap
orang yang mereka temui, namun tak ada satu pun yang melihat Dimas. Matahari
mulai terbenam, dan kegelapan semakin menyelimuti desa, menambah keputusasaan
mereka.
"Kita harus mencari bantuan," ujar Pak Harto dengan suara
parau. Ia merasa tak berdaya, tak tahu lagi harus berbuat apa.
Malam itu, dengan langkah berat dan hati yang penuh harap, mereka
mendatangi Mbah Karto, seorang paranormal yang dikenal di daerah itu. Mbah
Karto, dengan rambut putih panjang dan mata yang tajam, menyambut mereka dengan
hangat, seolah-olah bisa merasakan kepedihan yang mereka alami.
Dengan wajah keruh, Mbah Karto mendengarkan cerita mereka, lalu
memejamkan mata, seolah-olah sedang berkomunikasi dengan dunia lain. Setelah
beberapa saat, ia membuka matanya dan menatap Pak Harto dan istrinya dengan
tatapan serius.
"Anakmu dibawa oleh Wewe Gombel," katanya dengan suara berat.
"Ia tertarik pada anak-anak yang kesepian atau terlantar. Ia akan merawat
mereka seperti anaknya sendiri, tapi ia juga bisa sangat berbahaya jika
diganggu."
Ibu Dimas terisak mendengarnya. Bayangan makhluk menakutkan yang sering
diceritakan orang-orang desa tentang Wewe Gombel memenuhi pikirannya.
"Bagaimana kita bisa mendapatkan Dimas kembali, Mbah?" tanyanya
dengan suara tercekat.
Mbah Karto menghela napas. "Kita harus pergi ke tempat Wewe Gombel
tinggal. Tapi ingat, kita harus berhati-hati. Jangan sampai membuatnya
marah."
Keesokan paginya, Pak Harto, istrinya, dan Mbah Karto memulai perjalanan
mereka menuju puncak Gunung Kidul. Perjalanan itu sulit dan melelahkan,
melewati jalan setapak yang licin dan berbatu, dikelilingi oleh hutan lebat
yang seolah-olah menyembunyikan banyak rahasia. Kabut tebal membuat jarak
pandang terbatas, dan suara-suara binatang malam menambah suasana mencekam.
Setelah beberapa jam mendaki, mereka akhirnya sampai di sebuah gua yang
tersembunyi di balik air terjun. Air terjun itu mengalir deras, menciptakan
suara gemuruh yang menggetarkan jiwa. Mbah Karto mengatakan bahwa inilah tempat
tinggal Wewe Gombel. Mereka masuk ke dalam gua dengan hati-hati, senter mereka
menerangi lorong-lorong gelap dan lembap.
Di ujung gua, mereka menemukan sebuah ruangan yang luas. Di tengah
ruangan itu, terdapat sebuah pohon besar yang akar-akarnya menjalar ke seluruh
lantai gua, seolah-olah pohon itu adalah jantung dari tempat itu. Di bawah pohon
itu, duduk seorang wanita tua dengan rambut putih panjang dan wajah keriput. Ia
mengenakan kain batik lusuh dan menggendong seorang anak kecil di pangkuannya.
Anak itu tertidur pulas, wajahnya damai dan tenang.
"Itu dia, Wewe Gombel," bisik Mbah Karto.
Pak Harto dan istrinya menatap wanita tua itu dengan perasaan campur
aduk. Mereka takut, tapi juga berharap. Mereka mendekati wanita tua itu
perlahan, tidak ingin membuatnya terkejut atau marah.
Wanita tua itu mendongak, menatap mereka dengan mata tajam. "Siapa
kalian? Apa yang kalian inginkan di sini?" suaranya serak, tapi tidak
terdengar mengancam. Ada nada kelembutan di dalamnya, yang membuat mereka
sedikit tenang.
"Kami mencari anak kami, Dimas," kata Pak Harto dengan suara
gemetar. "Mbah Karto bilang ia dibawa oleh Wewe Gombel."
Wanita tua itu tersenyum tipis. "Dimas ada di sini. Ia aman
bersamaku."
Pak Harto dan istrinya terkejut. Mereka melihat anak kecil yang
digendong wanita tua itu, dan mereka mengenali wajah Dimas. Ia terlihat sehat
dan bahagia, bermain dengan boneka kain di tangannya. Hati mereka dipenuhi
kelegaan dan rasa syukur.
"Dimas!" seru Ibu Dimas, berlari memeluk anaknya. Air mata
mengalir di pipinya, campuran antara kebahagiaan dan rasa bersalah.
Dimas mendongak, menatap ibunya dengan mata lebar. Ia tersenyum, lalu
memeluk ibunya erat-erat.
Pak Harto mendekati wanita tua itu. "Terima kasih telah merawat
anak kami," katanya dengan tulus. "Tapi, kenapa Anda
membawanya?"
Wanita tua itu menghela napas. "Aku melihatnya bermain sendirian di
hutan. Ia terlihat kesepian dan ketakutan. Aku tidak tega meninggalkannya
sendirian, jadi aku membawanya ke sini."
Pak Harto mengangguk. "Kami minta maaf karena telah lalai mengawasi
Dimas. Kami berjanji tidak akan membiarkannya bermain sendirian lagi."
Wanita tua itu tersenyum. "Aku senang mendengarnya. Kalian boleh
membawa Dimas pulang sekarang. Tapi ingat, jaga dia baik-baik. Jangan biarkan
ia merasa kesepian atau terlantar, karena itu akan membuatnya rentan."
Keluarga itu berpamitan pada wanita tua itu, dan mereka meninggalkan gua
dengan perasaan lega dan bahagia. Mereka akhirnya menemukan Dimas, dan mereka
belajar untuk lebih menghargai kebersamaan mereka sebagai keluarga. Mereka juga
belajar untuk tidak mudah percaya pada cerita-cerita menakutkan tentang makhluk
halus, karena terkadang, kebenaran bisa jauh lebih indah dan mengharukan.
Mbah Karto tersenyum melihat mereka pergi. Ia tahu bahwa Wewe Gombel
sebenarnya bukanlah makhluk jahat. Ia hanya seorang wanita tua yang kesepian,
yang mencari penghiburan dengan merawat anak-anak terlantar. Ia berharap
orang-orang bisa memahami hal itu, dan tidak lagi takut padanya.
Misteri Wewe Gombel di Gunung Kidul akhirnya terpecahkan. Dimas kembali ke keluarganya, dan mereka hidup bahagia selamanya. Dan Wewe Gombel tetap tinggal di guanya, merawat anak-anak yang membutuhkan kasih sayang dan perlindungan. Ia adalah penjaga gunung, dan ia akan selalu ada di sana, mengawasi dan melindungi mereka yang tersesat atau membutuhkan bantuan. Ia adalah pengingat bahwa kebaikan dan kasih sayang bisa ditemukan di tempat-tempat yang paling tak terduga, bahkan di tengah kegelapan dan misteri Gunung Kidul. (E/S)