Ceritasakti.com - Kabut tebal menyelimuti kaki Gunung Arjuna, seolah-olah gunung itu sendiri menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya dalam bentuk kabut mistis. Tiga mahasiswa, Rido, Bima, dan Ajeng, berdiri di gerbang pendakian, semangat petualangan membara di dada mereka. Mereka telah mendengar cerita-cerita tentang pantangan mendaki Arjuna bertiga, namun mereka hanya menganggapnya sebagai takhayul belaka.
"Ayo, jangan takut. Itu
hanya mitos," Rido meyakinkan teman-temannya. Bima dan Ajeng saling
berpandangan, ragu-ragu. Namun, semangat Rido yang menggebu-gebu akhirnya
meyakinkan mereka. Mereka melangkah melewati gerbang, memasuki hutan lebat yang
menyelimuti kaki gunung.
Pendakian awal terasa
menyenangkan. Mereka bercanda, berbagi cerita, dan menikmati keindahan alam
yang masih perawan. Namun, semakin tinggi mereka mendaki, semakin berat langkah
mereka. Udara semakin tipis, kabut semakin tebal, dan hutan semakin sunyi.
Mereka mulai merasakan kehadiran yang tak terlihat, mengawasi setiap gerakan
mereka.
Malam pertama di gunung, mereka
mendirikan tenda di sebuah dataran kecil. Api unggun yang mereka nyalakan
berkedip-kedip, seolah-olah ketakutan akan sesuatu yang mengintai dalam
kegelapan. Mereka makan malam dalam diam, masing-masing tenggelam dalam
pikirannya sendiri.
Tiba-tiba, mereka mendengar
suara langkah kaki di sekitar tenda. Mereka saling berpandangan, jantung mereka
berdegup kencang. Suara langkah kaki itu semakin dekat, semakin dekat, hingga
akhirnya berhenti tepat di depan tenda mereka.
"Siapa di sana?" tanya
Rido dengan suara gemetar.
Tidak ada jawaban. Hanya
keheningan yang mencekam.
Mereka menunggu dalam
ketegangan, tidak berani bergerak sedikit pun. Setelah beberapa saat, suara
langkah kaki itu terdengar lagi, kali ini menjauh dari tenda mereka. Mereka
menghela napas lega, namun ketakutan masih menyelimuti mereka.
Keesokan harinya, mereka
melanjutkan pendakian. Mereka berusaha mengabaikan kejadian malam sebelumnya,
namun bayangan sosok misterius itu terus menghantui mereka. Mereka merasa
diawasi, diikuti, dan diintai.
Saat mereka mencapai puncak
gunung, mereka disambut oleh pemandangan yang menakjubkan. Awan putih berarak
di bawah mereka, matahari bersinar terang, dan angin bertiup sepoi-sepoi.
Mereka merasa lega dan bangga telah menaklukkan Arjuna.
Mereka duduk di tepi tebing,
menikmati pemandangan dan beristirahat sejenak. Tiba-tiba, Bima menjerit. Dia
menunjuk ke arah bawah tebing.
"Lihat itu!"
teriaknya.
Rido dan Ajeng mengikuti arah
telunjuk Bima. Mereka melihat sesosok manusia berdiri di tepi jurang, menatap
mereka dengan tatapan kosong. Sosok itu mengenakan pakaian compang-camping dan
rambutnya panjang terurai.
Mereka bertiga terpaku, tidak
bisa berkata-kata. Sosok itu perlahan-lahan mengangkat tangannya dan melambai
kepada mereka.
"Siapa dia?" bisik
Ajeng.
"Aku tidak tahu,"
jawab Rido. "Tapi aku merasa kita harus pergi dari sini."
Mereka bertiga bergegas
meninggalkan puncak gunung. Mereka menuruni gunung dengan cepat, tidak berani
menoleh ke belakang.
Saat mereka sampai di kaki
gunung, mereka merasa lega. Mereka telah selamat dari Arjuna yang terlarang.
Namun, mereka tidak tahu bahwa
mereka tidak benar-benar selamat. Sosok misterius itu masih mengikuti mereka,
mengintai mereka dari kegelapan.
Beberapa hari kemudian, Rido,
Bima, dan Ajeng kembali ke kampus. Mereka berusaha melupakan pengalaman
mengerikan mereka di Arjuna, namun mereka tidak bisa. Mereka terus dihantui
oleh bayangan sosok misterius itu.
Suatu malam, Rido sedang tidur
di kamarnya. Dia terbangun karena mendengar suara ketukan di jendela. Dia
membuka mata dan melihat sosok misterius itu berdiri di luar, menatapnya dengan
tatapan kosong.
Rido menjerit ketakutan. Dia
mencoba melarikan diri, namun sosok itu meraih tangannya dan menariknya ke
arahnya.
Rido berjuang melepaskan diri,
namun sosok itu terlalu kuat. Dia menarik Rido semakin dekat, hingga wajah
mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.
Rido bisa merasakan napas dingin
sosok itu di kulitnya. Dia bisa melihat kebencian di mata sosok itu.
"Kamu melanggar
pantangan," bisik sosok itu dengan suara serak. "Kamu harus
membayarnya."
Sosok itu membuka mulutnya
lebar-lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. Dia siap untuk menerkam
Rido.
Tiba-tiba, pintu kamar Rido
terbuka. Bima dan Ajeng masuk dan melihat apa yang sedang terjadi. Mereka
berteriak kaget dan berlari mendekati Rido.
Mereka mencoba melepaskan
cengkeraman sosok itu dari Rido, namun sosok itu terlalu kuat. Mereka memukul
kepala sosok itu dengan benda-benda di sekitar mereka, namun tidak ada yang
berhasil.
Sosok itu semakin marah. Dia
melepaskan Rido dan menyerang Bima dan Ajeng. Dia mencakar dan menggigit
mereka, membuat mereka menjerit kesakitan.
Rido berusaha membantu
teman-temannya, namun dia terlalu lemah. Dia hanya bisa menyaksikan dengan
ngeri saat sosok itu mencabik-cabik Bima dan Ajeng.
Sosok itu akhirnya puas. Dia
meninggalkan Bima dan Ajeng yang tergeletak di lantai, bersimbah darah. Dia
mendekati Rido dan menatapnya dengan tatapan penuh kemenangan.
"Sekarang kalian berdua,"
bisiknya.
Sosok itu menghilang dari
pandangan Rido. Rido terduduk lemas di lantai, air mata mengalir deras di
pipinya. Dia tidak percaya bahwa teman-temannya telah tiada.
Dia merasa bersalah karena telah
melanggar pantangan. Dia merasa bahwa dia yang bertanggung jawab atas kematian
teman-temannya.
Rido hidup dalam penyesalan dan
kesedihan yang mendalam. Dia tidak pernah bisa melupakan pengalaman mengerikan
itu. Dia terus dihantui oleh bayangan sosok misterius itu, mengingatkannya akan
kesalahannya.
Rido akhirnya memutuskan untuk
mengakhiri hidupnya. Dia tidak tahan lagi hidup dalam penderitaan. Dia pergi ke
puncak Arjuna dan melompat dari tebing.
Tubuhnya jatuh bebas ke dalam
jurang yang dalam. Saat dia menutup mata, dia melihat sosok misterius itu berdiri
di tepi jurang, tersenyum puas.
Rido telah membayar
kesalahannya. Dia telah bergabung dengan teman-temannya di alam baka. (E/S)